1.
Ilmu Kalam
Nama
lain dari Ilmu Kalam adalah Ilmu ‘Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tauhid
(Ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama).
Disebut juga 'Teologi Islam'. 'Theos' artinya Tuhan atau Allah; 'Logos'
artinya ilmu. Berarti ilmu yang mengkaji tentang keTuhanan yang didasarkan
atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya
persoalan-persoalan ghaib.
Menurut
Ibnu Khaldun dalam kitab “Muqadimah” mengatakan ilmu kalam
adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan
iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi tentang
bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan
menyimpang. Ilmu berarti “pengetahuan”, sedangkan Kalam berarti
“pembicaraan.” Ilmu Kalam adalah pengetahuan tentang pembicaraan yang
bernalar dengan menggunakan persoalan terpenting yang di bicarakan pada awal
Islam adalah tentang kalam Allah (Al-Qur'an). Dasar Ilmu Kalam adalah
dalil-dalil pikiran (dalil ‘aqli). Dalil naqli (Al-Qur'an dan Hadis)
baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran.
Ilmu
kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan
menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah
disiplin-disiplin keilmuan Fikih, Tasawuf, dan Filsafat. Jika Ilmu Fikih
membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan
orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu
Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang
lebih bersifat pribadi, kemudian Filsafat membidangi hal-hal yang
bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya
seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada
segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.
Sebagai
unsur dalam studi klasik pemikiran ke-Islaman, Ilmu Kalam menempati posisi
yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari
jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqa’id (Ilmu
Akidah-akidah, yakni, Simpulsimpul [Kepercayaan]), Ilmu Tauhid (Ilmu
tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin,
yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama).
2.
Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf
dan Filsafat
Dalam
disiplin ilmu keIslaman, Ilmu Kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai objek
kajian yang mirip, yakni :
a.
Ilmu Kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan-Nya.
b.
Filsafat adalah di antaranya juga membahas masalah
ketuhanan.
c.
Tasawuf adalah Tuhan, yaitu upaya-paya pendekatan
terhadap-Nya.
Jadi,
dari aspek objeknya, ketiga ilmu ini sama-sama membahas masalah yang
berkaitan dengan ketuhanan.
Ilmu
Kalam, filsafat, dan tasawuf bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan
hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya mencari
kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat, dengan
wataknya menghampiri kebenaran, baik tentang alam, manusia, dan Tuhan.
Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha
menghampiri kebenaran berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.
Perbedaaan
di antara ketiga disiplin ilmu di atas terletak pada aspek metodooginya,
yaitu :
a.
Teologi atau ilmu kalam, sebagai ilmu yang
menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliah untuk
mempertahankan keyakinan ajaran agama, sangat tampak nilai-nilai apologinya. Ilmu
kalam pada dasarnya menggunakan metode dialektika. Ilmu kalam berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen
rasional.
b.
Filsafat, metode yang digunakan filsafat adalah
metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara
menualangkan akal budi secara radikal dan integral serta universal. Peranan
filsafat sebagaimana yang dikatakan Socrates adalah upaya berpegang teguh
pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan berbagai konsep. Berkenaan
dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika, di dalam
filsafat disebut kebenaran korespondensi yaitu persesuaian antara
pernyataan fakta dengan data fakta. Di samping itu juga dikenal kebenaran
koherensi yaitu kesesuaian antara pertimbangan baru dengan pertimbangan
yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran baru
dapat dikatakan benar apabila data yang ada tidak bertolak belakang dengan
data yang selama ini dianggap benar. Selain dua macam kebenaran di atas, di
dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatik yakni sesuatu yang
bernilai manfaat. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar jika sesuatu itu
tidak tampak nilai manfaat di dalamnya.
c.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih
menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf
sangat distingsif.
Dipandang
dari aspek aksiologi, teologi di antaranya berperan sebagai ilmu yang
mengajak orang yang baru mengenal rasio untuk mengenal Tuhan secara rasional,
sehingga Tuhan dapat dipahami dengan rasional. Sedangkan filsafat lebih
berperan sebagai ilmu yang mengajak orang yang mempunyai rasio secara prima
untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam
serta ekosistemnya langsung. Adapun tasawuf lebih berperan sebagai ilmu yang
memberikan kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas
karena tidak memperoleh yang dicarinya.
Dari
uraian di atas terdapat titik persamaan dan perbedaan antara Ilmu Kalam
Filsafat, dan Tasawuf. Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia
(ghaib) yang dianggap sebagai “kebenaran terjauh” dimana tidak semua
orang dapat melakukannya dan dari ketiganya berusaha menemukan apa yang
disebut Kebenaran (al-haq). Sedangkan perbedaannya terletak pada cara
menemukan kebenarannya. Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya
(kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan
kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqamaatt, ahwaal (state)
kemudian fana'. Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa
diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan
kepada nash (al-Qur'an & Hadis). Kebenaran dalam Filsafat berupa
kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud) yakni tidak dapat
dibuktikan dengan riset, empiris, dan eksperiment.
3.
Sejarah Ilmu Kalam (Teologi
Islam)
Teologi
Islam atau ilmu kalam sebagai disiplin ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar
abad ke-3 Hijrah. Pada waktu itu umat Islam masih bersatu dalam segala
persolan pokok akidah, bersatu dalam memahaminya. Umat Islam waktu itu tidak
pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan akidah yang telah tertanam dan
berakar kuat dihati umat Islam karena teladan Rasulullah dan sahabatnya
merupakan model idola umat yang begitu mendarah daging mewarnai akhlak umat
pada saat itu.
a.
Masalah Status dan Nasib Pelaku
Dosa Besar
Ketika
Nabi Muhammad saw, masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan kepada
beliau secara langsung. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh
hati, bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarkan
wahyu Allah, tak ada keraguan sedikitpun mengenai kebenarannya.
Dalam
masalah akidah atau teologi, umat Islam pada masa Nabi saw, tidak terjadi
perpecahan atau pengelompokan sampai pada masa dua kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakur As-Siddiq
dan Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa setelahnya, umat Islam telah terusik
nafsunya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut versi kelompoknya
dalam masalah agama termasuk persoalan akidah atau teologi yang dalam agama
Islam merupakan ajaran yang pokok.
Ketika
Nabi saw. wafat, yang terpikir didalam kalangan umat (para sahabat) adalah
siapa pengganti Rasulullah SAW? kemudian berlanjut sampai khalifah Usman yang
terbunuh merupakan titik awal lahirnya permasalahan teologi yang
dipertentangkan. Dari peristiwa pembunuhan Usman yang menjadi permasalahan
adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya. Kemudian muncul pertanyaan
bagaimana dosa bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan
itu sebenarnya merupakan peristiwa politik, yakni sebagai tanggapan terhadap
kebijaksanaan pemerintahan yang dijalankan pada waktu itu.
Pembicaraan
masalah dosa tersebut semakin meningkat ketika terjadi perebutan kekuasaan
antara Ali dan Muawiyah dengan keputusan akhir adanya arbitrase (tahkim)
mereka yang setuju terhadap tahkim berpendirian bahwa baik kelompok Ali atau
kelompok Muawiyah keduanya adalah keluarga besar Islam oleh karena itu mereka
menggunakan ayat tahkim “apabila terjadi perselisihan kedua bela pihak yang
sulit diselesaikan maka kedua belah fihak hendaklah menunjuk juru runding”
sementara Kelompok yang tidak setuju (Khawarij) adanya arbitrase,
berpendirian bahwa orang terlibat dalam persolan arbitrase, seperti Ali bin
Ali Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al Asy’ary dan lain-lain,
dianggap kafir, karena telah mengambil hukum yang tidak berdasarkan Al-
Qur’an.
Khawarij
menyikapi Muawiyah dan kelompoknya adalah kaum bughat (kelompok pembangkang
terhadap otoritas Khalifah). Untuk menyikapi kelompok ini harusnya
menggunakan dalil QS. al-Hujurat [49]: 9.
Artinya:
“Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim
terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim
itu, sehingga golongan itu kembali ke-pada perintah Allah. Jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.” (QS. al-Hujurat [49]: 9)
Mereka
(kaum Khawarij) berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh
arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Mereka menganggap bahwa semua pihak
yang terlibat tahkim sudah tidak lagi berhukum dengan hukum Allah, mereka
menyebarkan isu-isu jargon politik ke publik La Hakama Illa Allah (Tidak ada
pengantara selain dari Allah) menjadi semboyan mereka.” dengan ucapan la
hukma illa lillah (Tidak ada hukum selain dari hukum Allah) atau barang siapa
yang tidak memakai hukum Allah adalah kafir.
b.
Persoalan Kafir dalam Aliran
Teologi Islam
Persoalan
dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dan
berdampak negatif terhadap persaudaraan dan persatuan umat Islam sehingga
menimbulkan 3 aliran teologi dalam Islam, yakni :
1)
Aliran Khawarij, tokoh utama aliran ini adalah Abdullah
al Rasibi atau Abdullah ar Rasyidi, berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar adalah kafir. Artinya keluar dari Islam (murtad) karena itu ia
wajib dibunuh.
2)
Aliran Murji’ah, tokoh aliran ini adalah Abdullah
bin Umar, Abu Hurairah dan lain-lain yang menegaskan bahwa orang yang
berdosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya
terserah kepada Allah untuk diampuni atau tidak
3)
Aliran Mu’tazilah, tokoh aliran ini adalah Washil
bin Atha, kaum ini tidak setuju dengan pendapat-pendapat di atas. Baginya
orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang yang
melakukan dosa besar mengambil posisi antara mukmin dan kafirakan tetapi
fasiq. Dalam teologi Mu’tazilah terkenal dengan paham/istilah Manzilah baina
al Manzilataini. Fasiq adalah gelar yang pantas diberikan kepada pendosa atau
bagi penikmat dosa.
4)
Aliran ‘Asy’ariah, tokoh pendiri aliran ini
adalah Abu Hasan al-‘Asy’ari dan Maturidiyah tokoh pendiri
aliran ini adalah Abu Manshur al-Maturidi, berpendapat apabila
perbuatan dosa itu berkaitan dengan keyakinan (berpendapat bahwa Allah
tidak ada, atau malaikat tidak ada, surga tidak ada, shalat tidak wajib dll),
maka berakibat bagi pelakunya menyandang gelar kafir, tapi apabila perbuatan
dosa tersebut berkaitan dengan perbuatan (meninggalkan solat, zakat dll),
maka berakibat bagi pelakunya menyandang gelar “Mukmin ‘Ashi” menurut
‘Asy’ariah dan bergelar “Mukmin Fasiq” bagi Maturidiyah.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar