1.
Ilmu Tasawuf (Sufisme)
Sufisme merupakan istilah khusus untuk
menggambarkan mistisisme dalam Islam. Tujuannya memperoleh hubungan langsung
dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di
hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya tasawuf yaitu
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan,
dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
a.
Pengertian Tasawuf secara
Bahasa
Tasawuf
(التصوف)
berasal dari kata sufi ( صوفى). Menurut sejarah, orang yang pertama memakai kata sufi
adalah seorang zahid atau ascetic bernama Abu Hasyim AlKufi di Irak
(w. 150 H). Secara etimologi, istilah Tasawuf memiliki banyak pengertian.
M.
Solihin dan
Rosihon Anwar merangkum ada tujuh asal kata Tawasuf, yaitu: 1) “Ahlu
suffah” (اهل الصفة ): Sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya
diisi dengan banyak berdiam diri di serambi-serambi masjid, dan mereka
mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. 2) “Shafa” ( صفا)
: Nama bagi orang-orang yang “bersih” dan “suci”. 3) “Shaf” ( صف ) : Makna yang dinisbahkan kepada orang-orang yang
ketika shalat selalu berada di shaf paling depan. 4) Tasawuf
dinisbahkan kepada orang-orang dari Bani Shuffah. 5) “saufi” (صوف ) dari
bahasa Grik (Yunani) yang disamakan maknanya dengan “hikmah” ( حكمة ), yang
berarti kebijaksanaan. 6) “Shaufanah”: Sebangsa buah-buahan kecil yang
berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan
pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam
kesederhanaanya, dan 7) “Shuf” (صوف ) bulu,
domba atau wol.
Istilah
Tasawuf ini dimaksudkan upaya pendekatan diri kepada Allah melalui hidup
sederhana, menjauhi kesenangan duniawi, maupun melakukan amalan- amalan
ruhaniyah (riyadah) secara sungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah)
agar dapat mencapai maqam dan hal yang paling tinggi. Orang yang melakukan
kegiatan Tasawuf disebut dengan Sufi.
b.
Pengertian Tasawuf secara
Istilah
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu
Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam Islam. Tasawuf secara
terminologis adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri,
berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju
keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguhpada
janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri dan
mencapai keridaan-Nya.
Imam
Ghazali dalam
kitab Ihya` Ulumuddin mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang
membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut Asy-Syibli
bahwa tasawuf ialah mengabdikan diri kepada Allah swt. tanpa keluh kesah. Al-Juarairi
mendefinisikan tasawuf sebagai landasan perilaku dengan akhlak yang tinggi
dan meninggalkan perilaku keji. Ibnu Kaldun dalam buku Munajat Sufi
mengatakan bahwa tasawuf adalah sebagian ilmu dari ajaran Islam yang bertujuan
agar seseorang tekun beribadah dan memutuskan hubungan selain Allah hanya
menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi, serta membenci sesuatu
yang memperdaya manusia.
Kesimpulannya,
tasawuf merupakan sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara
seseorang mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, berakhlak yang tinggi
(mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah, memutuskan hubungan selain
Allah karena manusia merasa tidak memilikisuatu apapun di dunia ini, menolak
hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa
memperdaya manusia, dan selalu menghamba (beribadah) kepada Allah
2.
Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi
Tasawuf
Dalam
tradisi Tasawuf, banyak teori yang menyebut karakter-karakter keluhuran yang
seharusnya dimiliki oleh manusia. Karakter-karakter tersebut tergambar dalam
konsep Tasawuf tentang Maqamat (tahapan-tahapan atau stations), ahwal
(state), ittihad (unity), wahdat al-wujud (kesatuan wujud), wahdat al-syuhud
(kesatuan penyaksian), wahdat al-din (kesatuan agama), dan lain-lain.
a. Perbedaan
Istilah Maqam dan Hal dalam Tradisi Tasawuf
Istilah
maqâm (jamak: maqâmât), bermakna kedudukan seorang jalan spiritual di
hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras (mujâhadah), dan
latihan-latihan keruhanian (riyâdah) sehingga mencapai keluhuruan
budi-pekerti (âdâb) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan
dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban (dengan
sebaik-baiknya) demi mencapai kesempurnaan.
Sedangkan
hâl (jamak: ahwâl) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu,
yang diciptakan (sebagai ―hak prerogatif”) Allah dalam hati manusia,
tanpa sang sufi mampu menolak keadaan itu apabila datang atau
mempertahankannya apabila pergi.
Menurut
Abu Nashr Al-Sarraj Ath-Thusi, maqam adalah kedudukan seorang hamba di
hadapan Allah Azza wa Jalla dari hasil ibadah, mujahadah
(perjuangan spiritual), riyadlah (latihan spiritual) dan konsentrasi
diri untuk mencurahkan segala-galanya hanya untuk Allah Swt. yang
semuanya senantiasa ia lakukan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ibrahim
[14]: 14:12
Artinya:
“…Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke
hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku.”
Sedangkan
hâl adalah suatu dari kejernihan zikir yang bertempat dalam hati, atau
hati berada dalam kejernihan zikir tersebut.
Ibnul
Qayyim al-Jauziah
menyampaikan dalam Madârikus Sâlikin, bahwa maqam itu diperoleh
atas usaha manusia, sedang hal diperoleh sebagai anugrah dari Allah. Mahjuddin
mengutip pendapat As‘ad al-Sahmarâni, bahwa perolehan maqam
melalui usaha maksimal manusia (al-makâsib bi badli al- Majhûd),
sedangkan hal merupakan pemberian tanpa didahului oleh mujâhadah dan
riyâdah, yang disebut almawâhibu al-fâidat ‘alâ al-abdi min rabbihi
(kemurahan pemberian Allah kepada hamba-Nya).
Kesimpulannya,
maqam merupakan tingkatan yang diperoleh seorang salik/murid/sufi
melalui mujâhadah melawan hawa nafsu dan riyadah dengan amalan- amalan
rohaniyah, sedangkan hal merupakan kondisi atau keadaan spiritual
seseorang karena karunia Allah.
b. Perbedaan
Struktur Maqâmât dan Hâl dalam Tradisi Tasawuf
Menurut
Ibnul Qayyim Al-Jauziah, dalam tata urutan maqam itu bukan berarti salik
(penempuh jalan ruhani untuk mendekatkan diri kepada Allah) itu meninggalkan
maqam yang telah dilewatinya dan berpindah ke maqam kedua, seperti
posisi-posisi perjalanan inderawi (lahiriyah). Begitu juga dengan taubat,
merupakan maqam pertama dan juga merupakan maqam terakhir, bahkan dalam
setiap maqam tentu ada taubat. Karena itulah, Allah menjadikan taubat sebagai
maqam terakhir yang istimewa. Firman-Nya:
Artinya:
“Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan
orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati
segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.”
(QS at- Taubah [9]: 117)
Al-Kalabadzi menyebutkan adanya 10 maqam
(stasiun) yang (harus) dilalui oleh para pejalan spiritual sebagai berikut: al-taubah
(taubat), al-zuhd (zuhud), al-shabr (sabar), al-faqr (kemiskinan),
al-tawadhu’ (kerendahhatian), al-Taqwa (takwa), altawakkul (tawakal),
al-ridha (rela), al-mahabbah (cinta), dan al-ma’rifah (pengetahuan
tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Al-Ghazali menyebutkan lebih
sedikit sebagai berikut: al-taubah, al- shabr, al-faqr, al-tawakkul,
al-mahabbah, al-ma‟rifah, dan al-ridha.
Abu
Nashr as-Sarraj ath-Thusi
dalam kitab Al-Luma’ menyebutkan 7 kedudukan spiritual (Maqâmât) dan
10 kondisi spiritual (al- ahwâl). Adapun 7 Maqâmât tersebut adalah Taubat,
Wara’, Zuhud, Kefakiran dan sifat-sifat Fakir (miskin), Sabar, Tawakal, dan
Ridha.
Sedangkan
10 al-ahwâl tersebut adalah Muraqabah, qurbah (kedekatan), Mahabbah
(cinta), Khauf (takut), Raja (harapan), Syauq (kerinduan), Uns (suka cita),
Thuma’ninah (ketenangan), Musyahadah (kehadiran hati), dan Yaqin
(keyakinan sejati).
c. Struktur
Maqamat
Al-Farabi berpendapat bahwa puncak
Ma’rifat adalah kemampuan seseorang untuk mendayagunakan akal actual (al-‘Aql
al-Faal). Akal aktual adalah Jibril yang bertugas membawa wahyu, yang
dalam dirinya tersimpan seluruh jenis ilmu dan pengetahuan yang gaib.
Manusia
bisa saja mencapai akal aktual itu melalui perjuangan spiritual
(al-mujahadah), latihan rohani (al-riyadlah) dan penyucian jiwa
(tashfiyah anNafs).
Marifat berarti pengetahuan, maksudnya
pengetahuan tentang Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat
Tuhan. Ma’rifat dapat ditemukan dasarnya dalam hadis dan Al-Qur‘an. Sebuah
hadis dari Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya
penopang (kekuatan) rumah tergantung pada fondasinya, sedang penopang agama
tergantung pada makrifatnya kepada Allah, keyakinan dan akal yang bisa
menundukkan (hawa nafsu). Aisyah bertanya: Demi engkau dengan tebusan ibuku,
bagaimana akal bisa menundukkan hal itu? Rasulullah menjawab: Mampu menahan
dari perbuatan durhaka kepada Allah dan selalu mendorong untuk taat
kepadanya. (HR ad Dailami)
Al-Qur‘an
menjelaskan bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan Ma’rifat.
Kalau tidak Ma’rifat berarti tidak menghargai Allah.
Allah
berfirman:
...
Artinya: “Mereka tidak mengagungkan Allah se-bagaimana mestinya…” (QS.
Al-An‘am: [6]: 91).
Abul
Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi (w. 465 H/1074 M) menjelaskan bahwa istilah ―tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu
berarti tidak Ma’rifat kepada- Nya.
Bagi sufi
Ma’rifat tidak berdiri sendiri. Abu Bakar al-Kalabadzi (w.385H/
995 M) misalnya berpendapat bahwa Ma’rifat selalu bersama dengan Mahabbah. Menurut dia, Ma’rifat dan Mahabbah merupakan kembar yang selalu disebut bersama.
Tetapi bagi
al-Ghazali (w.505 H/1111 M), Ma’rifat terlebih dahulu dalam tertib dari
Mahabbah, karena Mahabbah timbul dari Ma’rifat. Dan Mahabbah baginya bukan
Mahabbah sebagai yang diucapkan oleh Rabi‘ah al-Adawiyah (w.185 H/ 801 M),
tetapi Mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik
kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang
memberi manusia kehidupan yang memberi manusia kehidupan, rezeki, kesenangan,
dan lain-lain. Menurut al-Ghazali, Ma’rifat dan Mahabbah inilah
setinggi-tingginya tingkat yang dicapai seorang sufi. Pengetahuan yang
diperoleh dari Ma’rifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh
dengan akal.
Al-Ghazali
kadang-kadang menyebut Ma’rifat berbarengan dengan ilmu, karena ilmu
merupakan jalan menuju Ma’rifat. Sedang Muhyiddin Ibnu Arabi (w.638 H/1240
M), kadang menyebut ilmu dan Ma’rifat untuk makna yang sama, dan kadang pula
dia menyebut kedua istilah itu untuk makna yang berbeda. Ilmu dan Ma’rifat
disebut untuk makna yang sama, yaitu keduanya mengandung makna pengetahuan.
Tetapi, ada perbedaan kedua istilah itu. Ilmu berarti pengetahuan lahiriah,
sedang Ma’rifat berarti ilmu batiniah (spiritual).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar