RESUME ILMU TASAWUF 2

 

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

 

A.  Judul Modul           : ILMU TASAWUF

B.  Kegiatan Belajar : Ilmu Tasawuf (KB 2)

C.  Refleksi

NO

BUTIR REFLEKSI

RESPON/JAWABAN

1

Peta Konsep (Beberapa istilah dan definisi) di modul bidang studi

1.    Ilmu Tasawuf (Sufisme)

Sufisme merupakan istilah khusus untuk menggambarkan mistisisme dalam Islam. Tujuannya memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk didalamnya tasawuf yaitu kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.

 

a.    Pengertian Tasawuf secara Bahasa

Tasawuf (التصوف) berasal dari kata sufi ( صوفى). Menurut sejarah, orang yang pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid atau ascetic bernama Abu Hasyim AlKufi di Irak (w. 150 H). Secara etimologi, istilah Tasawuf memiliki banyak pengertian.

M. Solihin dan Rosihon Anwar merangkum ada tujuh asal kata Tawasuf, yaitu: 1) “Ahlu suffah” (اهل الصفة ): Sekelompok orang pada masa Rasulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam diri di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. 2) “Shafa” ( صفا) : Nama bagi orang-orang yang “bersih” dan “suci”. 3) “Shaf” ( صف ) : Makna yang dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika shalat selalu berada di shaf paling depan. 4) Tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari Bani Shuffah. 5) “saufi” (صوف ) dari bahasa Grik (Yunani) yang disamakan maknanya dengan “hikmah” ( حكمة ), yang berarti kebijaksanaan. 6) “Shaufanah”: Sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu-bulu, yang banyak sekali tumbuh di padang pasir di tanah Arab, dan pakaian kaum sufi itu berbulu-bulu seperti buah itu pula, dalam kesederhanaanya, dan 7) “Shuf” (صوف ) bulu, domba atau wol.

Istilah Tasawuf ini dimaksudkan upaya pendekatan diri kepada Allah melalui hidup sederhana, menjauhi kesenangan duniawi, maupun melakukan amalan- amalan ruhaniyah (riyadah) secara sungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah) agar dapat mencapai maqam dan hal yang paling tinggi. Orang yang melakukan kegiatan Tasawuf disebut dengan Sufi.

 

b.   Pengertian Tasawuf secara Istilah

Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dalam Islam. Tasawuf secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguhpada janji Allah dan mengikuti syariat Rasulullah dalam mendekatkan diri dan mencapai keridaan-Nya.

Imam Ghazali dalam kitab Ihya` Ulumuddin mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut Asy-Syibli bahwa tasawuf ialah mengabdikan diri kepada Allah swt. tanpa keluh kesah. Al-Juarairi mendefinisikan tasawuf sebagai landasan perilaku dengan akhlak yang tinggi dan meninggalkan perilaku keji. Ibnu Kaldun dalam buku Munajat Sufi mengatakan bahwa tasawuf adalah sebagian ilmu dari ajaran Islam yang bertujuan agar seseorang tekun beribadah dan memutuskan hubungan selain Allah hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi, serta membenci sesuatu yang memperdaya manusia.

Kesimpulannya, tasawuf merupakan sebagian ilmu ajaran Islam yang membahas cara-cara seseorang mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, berakhlak yang tinggi (mulia), tekun dalam beribadah tanpa keluh kesah, memutuskan hubungan selain Allah karena manusia merasa tidak memilikisuatu apapun di dunia ini, menolak hiasan-hiasan duniawi seperti kelezatan dari harta benda yang biasa memperdaya manusia, dan selalu menghamba (beribadah) kepada Allah

 

2.    Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Tasawuf

Dalam tradisi Tasawuf, banyak teori yang menyebut karakter-karakter keluhuran yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Karakter-karakter tersebut tergambar dalam konsep Tasawuf tentang Maqamat (tahapan-tahapan atau stations), ahwal (state), ittihad (unity), wahdat al-wujud (kesatuan wujud), wahdat al-syuhud (kesatuan penyaksian), wahdat al-din (kesatuan agama), dan lain-lain.

 

a.   Perbedaan Istilah Maqam dan Hal dalam Tradisi Tasawuf

Istilah maqâm (jamak: maqâmât), bermakna kedudukan seorang jalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras (mujâhadah), dan latihan-latihan keruhanian (riyâdah) sehingga mencapai keluhuruan budi-pekerti (âdâb) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk menjalankan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya) demi mencapai kesempurnaan.

Sedangkan hâl (jamak: ahwâl) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan (sebagai ―hak prerogatif”) Allah dalam hati manusia, tanpa sang sufi mampu menolak keadaan itu apabila datang atau mempertahankannya apabila pergi.

Menurut Abu Nashr Al-Sarraj Ath-Thusi, maqam adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah Azza wa Jalla dari hasil ibadah, mujahadah (perjuangan spiritual), riyadlah (latihan spiritual) dan konsentrasi diri untuk mencurahkan segala-galanya hanya untuk Allah Swt. yang semuanya senantiasa ia lakukan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ibrahim [14]: 14:12

Artinya: “…Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (menghadap) ke hadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku.”

Sedangkan hâl adalah suatu dari kejernihan zikir yang bertempat dalam hati, atau hati berada dalam kejernihan zikir tersebut.

Ibnul Qayyim al-Jauziah menyampaikan dalam Madârikus Sâlikin, bahwa maqam itu diperoleh atas usaha manusia, sedang hal diperoleh sebagai anugrah dari Allah. Mahjuddin mengutip pendapat As‘ad al-Sahmarâni, bahwa perolehan maqam melalui usaha maksimal manusia (al-makâsib bi badli al- Majhûd), sedangkan hal merupakan pemberian tanpa didahului oleh mujâhadah dan riyâdah, yang disebut almawâhibu al-fâidat ‘alâ al-abdi min rabbihi (kemurahan pemberian Allah kepada hamba-Nya).

Kesimpulannya, maqam merupakan tingkatan yang diperoleh seorang salik/murid/sufi melalui mujâhadah melawan hawa nafsu dan riyadah dengan amalan- amalan rohaniyah, sedangkan hal merupakan kondisi atau keadaan spiritual seseorang karena karunia Allah.

b.   Perbedaan Struktur Maqâmât dan Hâl dalam Tradisi Tasawuf

Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziah, dalam tata urutan maqam itu bukan berarti salik (penempuh jalan ruhani untuk mendekatkan diri kepada Allah) itu meninggalkan maqam yang telah dilewatinya dan berpindah ke maqam kedua, seperti posisi-posisi perjalanan inderawi (lahiriyah). Begitu juga dengan taubat, merupakan maqam pertama dan juga merupakan maqam terakhir, bahkan dalam setiap maqam tentu ada taubat. Karena itulah, Allah menjadikan taubat sebagai maqam terakhir yang istimewa. Firman-Nya:

 Artinya: “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.” (QS at- Taubah [9]: 117)

Al-Kalabadzi menyebutkan adanya 10 maqam (stasiun) yang (harus) dilalui oleh para pejalan spiritual sebagai berikut: al-taubah (taubat), al-zuhd (zuhud), al-shabr (sabar), al-faqr (kemiskinan), al-tawadhu’ (kerendahhatian), al-Taqwa (takwa), altawakkul (tawakal), al-ridha (rela), al-mahabbah (cinta), dan al-ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu. Al-Ghazali menyebutkan lebih sedikit sebagai berikut: al-taubah, al- shabr, al-faqr, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma‟rifah, dan al-ridha.

Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi dalam kitab Al-Luma’ menyebutkan 7 kedudukan spiritual (Maqâmât) dan 10 kondisi spiritual (al- ahwâl). Adapun 7 Maqâmât tersebut adalah Taubat, Wara’, Zuhud, Kefakiran dan sifat-sifat Fakir (miskin), Sabar, Tawakal, dan Ridha.

Sedangkan 10 al-ahwâl tersebut adalah Muraqabah, qurbah (kedekatan), Mahabbah (cinta), Khauf (takut), Raja (harapan), Syauq (kerinduan), Uns (suka cita), Thuma’ninah (ketenangan), Musyahadah (kehadiran hati), dan Yaqin (keyakinan sejati).

 

c.    Struktur Maqamat

Al-Farabi berpendapat bahwa puncak Ma’rifat adalah kemampuan seseorang untuk mendayagunakan akal actual (al-‘Aql al-Faal). Akal aktual adalah Jibril yang bertugas membawa wahyu, yang dalam dirinya tersimpan seluruh jenis ilmu dan pengetahuan yang gaib.

Manusia bisa saja mencapai akal aktual itu melalui perjuangan spiritual (al-mujahadah), latihan rohani (al-riyadlah) dan penyucian jiwa (tashfiyah anNafs).

Marifat berarti pengetahuan, maksudnya pengetahuan tentang Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Ma’rifat dapat ditemukan dasarnya dalam hadis dan Al-Qur‘an. Sebuah hadis dari Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya penopang (kekuatan) rumah tergantung pada fondasinya, sedang penopang agama tergantung pada makrifatnya kepada Allah, keyakinan dan akal yang bisa menundukkan (hawa nafsu). Aisyah bertanya: Demi engkau dengan tebusan ibuku, bagaimana akal bisa menundukkan hal itu? Rasulullah menjawab: Mampu menahan dari perbuatan durhaka kepada Allah dan selalu mendorong untuk taat kepadanya. (HR ad Dailami)

Al-Qur‘an menjelaskan bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan Ma’rifat. Kalau tidak Ma’rifat berarti tidak menghargai Allah.

Allah berfirman:

 

... Artinya: “Mereka tidak mengagungkan Allah se-bagaimana mestinya…” (QS. Al-An‘am: [6]: 91).

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi (w. 465 H/1074 M) menjelaskan bahwa istilah tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak Marifat kepada- Nya.

Bagi sufi Marifat tidak berdiri sendiri. Abu Bakar al-Kalabadzi (w.385H/ 995 M) misalnya berpendapat bahwa Marifat selalu bersama dengan Mahabbah. Menurut dia, Marifat dan Mahabbah merupakan kembar yang selalu disebut bersama. Tetapi bagi al-Ghazali (w.505 H/1111 M), Ma’rifat terlebih dahulu dalam tertib dari Mahabbah, karena Mahabbah timbul dari Ma’rifat. Dan Mahabbah baginya bukan Mahabbah sebagai yang diucapkan oleh Rabi‘ah al-Adawiyah (w.185 H/ 801 M), tetapi Mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia kehidupan yang memberi manusia kehidupan, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Menurut al-Ghazali, Ma’rifat dan Mahabbah inilah setinggi-tingginya tingkat yang dicapai seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari Ma’rifat lebih tinggi mutunya dari pengetahuan yang diperoleh dengan akal.

Al-Ghazali kadang-kadang menyebut Ma’rifat berbarengan dengan ilmu, karena ilmu merupakan jalan menuju Ma’rifat. Sedang Muhyiddin Ibnu Arabi (w.638 H/1240 M), kadang menyebut ilmu dan Ma’rifat untuk makna yang sama, dan kadang pula dia menyebut kedua istilah itu untuk makna yang berbeda. Ilmu dan Ma’rifat disebut untuk makna yang sama, yaitu keduanya mengandung makna pengetahuan. Tetapi, ada perbedaan kedua istilah itu. Ilmu berarti pengetahuan lahiriah, sedang Ma’rifat berarti ilmu batiniah (spiritual).

2

Daftar materi bidang studi yang sulit dipahami pada modul

 

1.    Struktur Maqamat

3

Daftar materi yang sering mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran

1.     Sufisme merupakan mistisisme dalam Islam

2.     Ilmu dan ma`rifat

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENELITIAN TINDAKAN KELAS

  PENERAPAN STRATEGI QSH   SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN SISWA PADA MAPEL AKIDAH AKHLAK KELAS IV MI TARBIYATUL   ISLAMIYAH WINONG...