A. Aliran-aliran
dalam Ilmu Tasawuf
Para
ilmuwan membagi aliran tasawuf menjadi tiga, yaitu tasawuf akhlaqi,
falsafi, dan irfani. Tasawuf akhlaqi merupakan tasawuf yang
didasarkan pada teori perilaku, akhlak, dan budi pekerti atau tasawuf yang
berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang didasarkan pada gabungan teori tasawuf dan filsafat, dan tasawuf ‘irfani
adalah penyingkapan hakikat kebenaran atau ma’rifah kepada Allah tidak
diperoleh melalui logika tetapi melalui hati yang bersih (suci).
Tipologi
tasawuf Ali Sami Nasyar yang dikutip oleh Husein Muhammad, yang
membagi tiga jenis tasawuf, yaitu; Sunni, Salafi, dan Falsafi.
Tasawuf Salafi memahami tasawuf sebagai cara hidup yang sejalan dengan apa
yang telah dikemukakan al-Qur‘an dan Sunnah Nabi saw., secara skripturalis
dan anti takwil dalam wacana Kalam. Tokoh dalam tasawuf ini adalah al-
Harawi al-Anshari (w.1089 M), Ibn Taymiyah (w.1327 M), dan muridnya
Ibnu Qayyim al-Jawziyah (w. 1350 M).
1.
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf
akhlaqi (sunni), diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat
Hijriyah. Imam Al-Ghazali dan para pemimpin thariqat yang memadukan
tasawuf dengan filsafat. Para sufi ini banyak mendapat kecaman dari para
fuqaha akibat pernyataanpernyataan panteistis. Fuqaha yang paling keras
kecamannya ialah Ibnu Taimiah (wafat pada tahun 728 H).
Selama
abad kelima Hijriah, aliran tasawuf akhlaki terus tumbuh dan berkembang.
Sebaliknya, aliran tasawuf falsafi mulai tenggelam dan muncul kembali dalam
bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam
hijriah dan seterusnya. Tenggelamnya merupakan imbas kejayaan aliran teologi ahlu
sunnah wal jama‟ah di atas aliran-aliran lainnya. Diantara kritik keras,
teologi ahlu sunnah wal jama’ah dialamatkan pada keekstriman tasawuf Abu
Yazid AlBusthami, Al-Hallaj, para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya
terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai
penyimpangan lainnya yang mulai timbul di kalangan tasawuf. Kejayaan tasawuf
akhlaqi merupakan hasil kepiawaian Abu Hasan Al- Asy‘ari (wafat 324 H)
dalam menggagas pemikiran akhlaki yang berbasis ilmu kalam.
Pada
abad kelima hijriah mengalami pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya pada
landasan Al-Qur‘an dan sunah. Al-Qusyairi dan Al-Harrawi
dipandang sebagai tokoh sufi paling menonjol pada abad ini yang memberi
bentuk tasawuf akhlaqi. Kitab Ar- Risalah Al-Qusyairiah memperlihatkan
dengan jelas bagaiman Al-Qusyairi mengembalikan landasan tasawuf pada
doktrin ahlu sunnah. Dalam penilaiannya, ia menegaskan bahwa para tokoh sufi
aliran ini membina prinsipprinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar
sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan. Selain itu mereka
lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlu sunnah.
Tokoh
lainnya yang seirama dengan Al-Qusyairi adalah Abu Ismail Al-Anshari, yang
sering disebut dengan Al-Harawi. Ia mendasarkan tasawufnya pada doktrin ahlu
sunnah. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan
penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya,
seperti Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj. Al-Ghazali dipandang seiring
dengan Al-Qusyairi dan Al-Harawi. Namun, dari segi-segi kepribadian, keluasan
pengetahuan, dan kedalaman tasawufnya, Al-Ghazali memiliki kelebihan
dibandingkan dengan semua tokoh di atas. Ia sering diklaim sebagai seorang
sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khazanah ketasawufan di dunia
Islam.
Dengan
demikian, abad kelima Hijriah merupakan tonggak yang menentukan
kejayaan tasawuf akhlaki. Pada abad tersebut, tasawuf ini tersebar
luas dikalangan dunia Islam.
2.
Tasawuf Falsafi
Secara
garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi mistis dan visi rasional. Metode pendekatan tasawuf
falsafi sangat berbeda dengan tasawuf akhlaqi. Kalau tasawuf akhlaqi lebih
mengutamakan persoalan praktik tanda dasar filsafat, maka tasawuf
falsafi menonjol kepada segi teoritis, sehingga dalam konsep-konsep
tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendekatan-pendekatan
filosofis yang kadang sulit dipahami orang awam. Kaum sufi falsafi menganggap
bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan
alam semesta, semuanya adalah Allah.
Dalam
tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya
terdapat beberapa terma yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu; hulul,
wahdah al~wujud, insan kamil, wujud mutlak, dan lain-lain.
Hulul
merupakan salah satu konsep di dalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya
kesatuan antara khaliq dengan makhluk. Paham hulul ini disusun oleh Alhallaj.
Kata hulul berimplikasi kepada bahwa Tuhan akan menyatu dengan manusia jika
manusianya menghilangkan sifat-sifat tercela melalui meniadakan alam duniawi
menuju kesadaran ketuhanan.
Wahdah
al-wujud adalah paham yang mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu dengan
tuhan, akan tetapi tuhan di sini bukanlah Tuhan berupa zat, tetap sifat-sifat
Tuhan yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan proses fana‘,
yaitu menghilangkan sifat-sifat tercela melalui meniadakan alam duniawi
menuju kesadaran ketuhanan. Sedangkan ittihad sebagaimana diungkapkan Abu
Yazid Albusthami bahwa manusia adalah pancaran Nur Ilahi. Oleh karena
itu, manusia yang telah menemukan hakikatnya sebagai manusia maka pada
dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau
dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
Corak
dari pada tasawwuf falsafi tentunya sangat berbeda dengan tasawwuf yang
pernah diamalkan oleh masa sahabat dan tabi‘in, karena tasawwuf ini muncul
karena pengaruh filasafat Neo-Platonisme. Berkembangnya tasawuf sebagai jalan
dan latihan untuk merealisir kesucian batin dalam perjalanan menuju kedekatan
dengan Allah. Adanya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali
dimotori oleh para filsuf muslim yang pada saat itu mengalami helenisme
pengetahuan. Misalnya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan
dengan menggunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam
filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke
Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam
tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan.
Namun
istilah tasawuf falsafi belum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru
tokoh-tokoh sufi falsafi yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah
(w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya. Orang kedua
yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi
al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran.
Karakteristik
dari ajaran tasawuf ini adalah:
a)
Ajarannya lebih mengarah pada teori-teori yang
rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam;
b)
Mengedepankan akal mereka;
c)
Ajarannya memadukan antara visi mistis dan
rasional.
3.
Tasawuf Amali
Tasawuf
amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri
kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang
harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama.
Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan amalan lahir maupun
batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan
mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syariah dan
amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki
(haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui
haqiqah akan mengantarkan pada makrifah, yakni mengetahui dan merasakan
kedekatan dengan Tuhan melalui qalb.
Tasawuf
Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri
kepada Allah. Terdapat beberapa istilah praktis dalam Tasawuf Amali, yakni syariat,
thariqat, dan marifat. Secara umum syariat adalah segala ketentuan
agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hambanya. Bagi orang-orang sufi,
syariat itu ialah amal ibadah lahir dan urusan muamalat mengenai hubungan
antara manusia dengan manusia.
Ath-Thusi
dalam
Al-Luma‟ mengatakan bahwa syariat adalah suatu ilmu yang mengandung dua
pengertian, yaitu riwayah dan dirayah yang berisikan
amalan-amalan lahir dan batin. Apabila syariat diartikan sebagai ilmu yang
riwayah adalah segala macam hukum teoritis yang termaktub dan terurai dalam
ilmu fikih yakni ilmu-ilmu teoritis yang bersifat lahiriah. Sebaliknya,
apabila syariat diartikan sebagai ilmu yang dirayah maka makna dari syariat
itu adalah makna batiniah dari ilmu lahiriah atau dapat disebut dengan makna
hakikat dari ilmu fikih itu sendiri. Sehingga, bila dikaitkan dengan para
fuqaha dan sufi yang memiliki perbedaan pandangan, syariat yang bersifat
riwayah adalah macam ilmu yang disebut dengan fikih, yakni ilmu yang
menyentuh aspek lahiriah saja. Sedangkan syariat yang berkonotasi dirayah
adalah ilmu yang sekarang ini dikenal dengan ilmu tasawuf yakni ilmu yang
cenderung menyentuh aspek batiniah.
Mengenai
syariat ini para ahli sufi lebih menekankan pada aspek hakekat atau makna
batiniah dari dari ilmu lahiriah (syariat) ketimbang para ahli fikih yang
hanya menekankan pada aspek lahiriyah saja. Menurut keyakinan sufi, seseorang
akan mencapai hakikat suatu ibadah apabila mereka telah menempuh jalan yang
menuju pada hakikat tersebut, yakni thariqat.
Thariqat menurut istilah tasawuf adalah
jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada
sedekat mungkin dengan tuhan. Thariqat adalah jalan yang ditempuh para sufi
dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama
disebut syara‘, sedangkan anak jalan disebut dengan thariq. Jalan-jalan
tersebut terbagi ke dalam tiga batasan antara manusia dan teologis, yakni
syariat, thariqat dan hakikat. Dalam hal ini, terdapat pepatah sufi yang
mengatakan ― untuk mencapai haqiqah (inti) anda harus mampu menghancurkan
kulit. Yakni, makna essensial melebihi makna- makna yang bersifat eksotoris.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar